Sangat banyak alasan bagi
suami dan isteri untuk terus berkonflik. Mereka berasal dari tradisi
keluarga yang berbeda, mereka memiliki kebiasaan, pemikiran, kesenangan,
perasaan yang tidak sama. Bahkan sering dikatakan, planet asal
merekapun berbeda. Yang satu dari Mars, satu lagi dari Venus. Jika
setiap satu perbedaan memunculkan satu konflik, maka setiap hari mereka
akan selalu berada dalam ketegangan situasi yang tidak produktif.
Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga, memang selalu ada konflik dengan segala tingkatannya. Tidak ada keluarga tanpa konflik, yang membedakan adalah cara mereka menikmati, mengelola dan keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian, tidak perlu berlebihan dalam memandang terjadinya konflik. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengubah konflik menjadi cinta yang menyala dalam keluarga.
Tiga Tingkat Konflik
Konflik tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi dalam tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada beberapa ketidakcocokan antara suami dengan isteri, tetapi ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak diekspresikan, namun lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami dan isteri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, namun tidak diungkapkan.
Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami atau sudah tampak di permukaan. Suami dan isteri sudah sama-sama mengalami perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran atau perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara suami dan isteri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan.
Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon). Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan isteri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata”, seperti menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Memahami tingkatan konflik ini akan sangat membantu bagi suami dan isteri untuk bisa menentukan sikap yang tepat pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan isteri tidak membiarkan konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan pertama sangat diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya berlarut-larut atau berlama-lama.
Keluar di Tingkat Pertama
Saat suami dan isteri mulai merasakan ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Isteri tidak bisa atau tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi, takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan isteri. Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspon dengan berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, namun memendam perasaan yang tidak nyaman.
Bisa juga suami dan isteri berada dalam suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami atau isteri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman, karena mudah salah paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan. Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya.
Inilah gejala suami dan isteri sudah memasuki gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman, suasana ketidakcocokan antara suami dan isteri, namun hanya dipendam di dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masih memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan.
Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini, agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan anda bersama pasangan tercinta.
Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak pasangan anda berbicara, dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang jernih dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf anda kepada pasangan, karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan, konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan. Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi, atau saling menyalahkan di antara suami dan isteri.
Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan canda agar suasana lebih cair dan nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda, perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan, sehingga hati tidak lagi menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan.
Jangan biarkan konflik tahap pertama ini berkembang dalam jiwa, karena lama-lama akan meningkat menuju konflik tahap kedua dan ketiga, yang akan semakin sulit untuk menyelesaikannya. Mumpung belum membesar, mumpung belum terlanjur, segera keluar pada tahap pertama ini.
Selamat beraktivitas. Selamat menikmati cinta.
Cahyadi Takariawan
Baca klik <a href='http://ayonikah.net/ketika-konflik-dirubah-menjadi-cinta.html'>http://ayonikah.net/ketika-konflik-dirubah-menjadi-cinta.html</a>
Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga, memang selalu ada konflik dengan segala tingkatannya. Tidak ada keluarga tanpa konflik, yang membedakan adalah cara mereka menikmati, mengelola dan keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian, tidak perlu berlebihan dalam memandang terjadinya konflik. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengubah konflik menjadi cinta yang menyala dalam keluarga.
Tiga Tingkat Konflik
Konflik tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi dalam tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada beberapa ketidakcocokan antara suami dengan isteri, tetapi ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak diekspresikan, namun lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami dan isteri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, namun tidak diungkapkan.
Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami atau sudah tampak di permukaan. Suami dan isteri sudah sama-sama mengalami perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran atau perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara suami dan isteri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan.
Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon). Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan isteri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata”, seperti menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Memahami tingkatan konflik ini akan sangat membantu bagi suami dan isteri untuk bisa menentukan sikap yang tepat pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan isteri tidak membiarkan konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan pertama sangat diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya berlarut-larut atau berlama-lama.
Keluar di Tingkat Pertama
Saat suami dan isteri mulai merasakan ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Isteri tidak bisa atau tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi, takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan isteri. Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspon dengan berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, namun memendam perasaan yang tidak nyaman.
Bisa juga suami dan isteri berada dalam suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami atau isteri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman, karena mudah salah paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan. Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya.
Inilah gejala suami dan isteri sudah memasuki gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman, suasana ketidakcocokan antara suami dan isteri, namun hanya dipendam di dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masih memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan.
Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini, agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan anda bersama pasangan tercinta.
Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak pasangan anda berbicara, dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang jernih dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf anda kepada pasangan, karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan, konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan. Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi, atau saling menyalahkan di antara suami dan isteri.
Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan canda agar suasana lebih cair dan nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda, perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan, sehingga hati tidak lagi menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan.
Jangan biarkan konflik tahap pertama ini berkembang dalam jiwa, karena lama-lama akan meningkat menuju konflik tahap kedua dan ketiga, yang akan semakin sulit untuk menyelesaikannya. Mumpung belum membesar, mumpung belum terlanjur, segera keluar pada tahap pertama ini.
Selamat beraktivitas. Selamat menikmati cinta.
Cahyadi Takariawan
Baca klik <a href='http://ayonikah.net/ketika-konflik-dirubah-menjadi-cinta.html'>http://ayonikah.net/ketika-konflik-dirubah-menjadi-cinta.html</a>